Tema “Dimensi Politik Hukum Atas Disahkannya PERPU Cipta Kerja”.
Melalui kegiatan ini kami berharap agar mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Pasundan mendapatkan informasi serta ilmu mengenai pro dan kontra PERPU Cipta Kerja yang akan menjadi output berupa, kajian, sikap, atau rekomendasi dan juga melihat sudut pandang PERPU Cipta Kerja ini dari sisi Ketenagakerjaan.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang merupakan peraturan yang ditetapkan oleh Presiden dalam keadaan genting dan memaksa. Dalam hal kegentingan tersebut, seorang Presiden diberi kewenangan mutlak oleh Undang-Undang Dasar untuk menetapkan suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dengan maksud agar keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan genting yang memaksa, sehingga pemerintah dalam hal ini dapat bertindak lekas dan tepat.
Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, ada 3 persyaratan yang harus dipenuhi oleh Pemerintah atau Presiden agar dapat mengeluarkan Perpu yaitu:
(1) Adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
(2) Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
(3) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Mahkamah juga menyatakan bahwa keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang menyebabkan timbulnya kegentingan memaksa dan tergantung kepada penilaian subjektif Presiden. Tetapi, juga berdasarkan pada penilaian 3 objektif tersebut diatas. Dengan demikian, Presiden tidak bisa sewenang-wenang menetapkan Perpu.
Kemudian Presiden Joko Widodo pada 30 Desember menerbitkan PERPU NO.2/202 dimana hal ini menjadi hadiah tahun baru. Penerbitan PERPU ini dinilai menunjukan wajah pemerintahan jokowi dalam praktik legislasi. Dimana sebelumnya terdapat Undang-Undang Cipa Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah konstitusi atau dalam artian MK meminta pemerintah dan DPR untuk memperbaiki UU CIPTAKER dalam jangka waktu 2 tahun. Jokowi pun dianggap telah melecehkan putusan MK dalam hal ini karena penerbitan dari PERPU CIPTAKER dengan alasan adanya kebutuhan mendesak, yakni terkait kebutuhan global, kemudian inflasi yang pada akhirnya PERPU ini diterbitkan.
Tanggapan dari sisi Ketenagakerjaan diterbitkannya PERPU ini tidak memenuhi amanah dan putusan dari Mahkamah Konstitusi. Jika melihat PERPU yang dibuat oleh Presiden itu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa maka di dalamnya terdapat unsur subjektifitas dari Presiden dalam menafsirkan dan menentukan tingkatan makna dari “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang menjadi dasar diterbitkannya Perpu. Ketika berbicara keadaan kegentingan terdapat dua kategori, yaitu keadaan bahaya dan keadaan krisis. Lalu ada 3 unsur kegentingan, yaitu:
- Ancaman yang membahayakan
- Kebutuhan yang mengharuskan
- Keterbatasan Waktu
Kemudian tanggapan dari sisi pemerintah karena melihat adanya keadaan yang memaksa perlunya pemenuhan hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak maka pemerintah menerbitkan PERPU No.2/2022. Dengan tujuan menciptakan dan meningkatkan lapangan pekerjaan, memperoleh pekerjaan, penyesuaian berbagai aspek pengaturan.
Namun tanggapan dari sisi buruh dengan diterbitkannya PERPU No.2/2022 ini menuai penolakan karena terdapat beberapa Pasal yang bermasalah dimana merugikan buruh. Dimana PERPU ini tidak mewakili suara rakyat dan dampaknya kepada seluruh elemen serta mengancam masadepan oleh sebab itu alasan dengan diterbitkannya PERPU ini tidak masuk akal.